Beberapa 
tahun belakangan ini saya mengumpulkan komik maupun novel grafis, tapi 
meniitik beratkan pada novel grafis. Meski definisinya masih 
diperdebatkan, karena penyebutan ini masih dianggap hanya sebagai 
strategi marketing Eisner ketika menerbitkan Trilogi Contract With God 
dan mempopulerkan istilah ini.
Terbitan
 novel grafis Indonesia cukup ramai sekitar tahun 2006–2007, di tengah 
menggeliatnya manga dan budaya pop Jepang. Sebenarnya cukup tak mudah 
membaca Chicken With Plum -nya Marjane Satrapi maupun Epileptik –nya 
David B, cerita serius yang diwakili oleh gambar figuratif bertinta 
hitam tebal tentunya kontras dengan karakter berambut model lembaran 
daun yang menawan dalam manga di meja best seller toko buku. Saya cukup 
telat untuk menumpulkan novel grafis, sehingga banyak judul yang belum 
saya miliki. Misal; History of Violence, Zona Aman Gorazde dan Chicken 
With Plum.
Ada satu teori yang dikatakan oleh guru Bahasa Indonesia saya ketika 
masa sekolah dulu, bahwa dalam hal bahan bacaan semakin bertambahnya 
usia manusia maka ketertarikan pada visual berubah menjadi ketertarikan 
pada cerita. Sebagai contoh komik maupun film kartun lebih mudah mencuri
 perhatian anak-anak, kemudian mereka beranjak menyukai membaca cerpen 
atau novel yang cuma berisi tulisan. Novel grafis seperti menaruh dua 
hal ini dalam satu level yang seimbang dan menjadi sebuah pengecualian 
untuk teori tersebut.
|  | 
| Rampokan Jawa & Selebes | 
Saya 
membuat daftar 10 novel grafis yang menarik untuk dibaca, saya 
memilihnya ketika sedang membersihkan kamar dari tumpukan buku yang saya
 simpan pada satu rak kecil, dua lemari kecil berkolom ganda, satu 
kontainer plastik ukuran 55 liter, satu laci dan setumpuk diatas meja. 
Sebelum kembali menyimpannya dan menggesernya ke sudut kamar saya pikir 
ada baiknya jika saya membuat daftar novel grafis yang menarik dan patut
 dibaca untuk dikabarkan.
Ada
 beberapa pertimbangan yang saya pakai untuk menyusun daftar di bawah 
ini. Yang terdiri dari visual dan jalan cerita yang menarik, dan yang 
terakhir saya memilikinya dalam bentuk fisik. Novel grafis serta komik 
dalam format pdf tidak saya masukkan dalam daftar.
1. A Contract With God Trilogy , Will Eisner
Trilogi
 ini dimulai oleh makian Frimme Hersh kepada Tuhannya yang dianggap 
melanggar kontrak karena telah mengambil Rachele, anaknya. Kemudian 
babak baru rumah susun jalan raya Dropsie No 55 tempat tinggalnya 
dimulai dan cerita bergulir. Novel grafis pertama yang saya beli dan 
kadar cerita yang disajikan Will Eisner jadi panduan bagi saya untuk 
memilah dan menilai secara subyektif buku yang masuk dalam kategori 
novel grafis maupun yang cuma sekedar komik.
2. Hanyut , Yoshihiro Tatsumi
Dari
 novel ini bisa dilihat perkembangan komik strip Jepang yang sebelumnya 
cuma dianggap materi sisipan koran yang sekian lama terpaku dengan 
format 3 kolom dan cerita humor. Kemudian beranjak menjadi manga dan 
bahkan menjadi gekiga yang lebih realistik.
3. Age Of Bronze, Eric Shanower
Legenda
 perang Troya tak sesederhana film “Troy” yang dibintangi Brad Pitt, 
Eric Shanower menceritakan kisah persiapan penyerangan tersebut dalam 
plot yang ternyata cukup rumit. Digambarkan dalam panel-panel rapi dan 
nihil garis-garis yang biasa digunakan untuk menunjukkan gerak, khas 
komik lama. Sayangnya Gramedia hanya menerbitkan sampai jilid ke 3a, 
masih ada satu jilid terakhir yang belum diterbitkan.
4. Rampokan Jawa & Selebes, Peter Van Dongen
Berlatar
 belakang di masa revolusi Hindia Belanda yang kacau, kepulangan serdadu
 Johan ke kampung halaman tak seperti yang diharapkannya. Orang-orang 
yang dikenalnya menghilang dan Johan menjadi buronan karena dituduh 
komunis. Untuk menekan biaya produksi novel grafis ini dicetak dalam 3 
warna, putih, hitam dan sephia. Peter Van Dongen menggunakannya dengan 
efektif.
5. Bone, Jeff Smith
Bercerita
 tentang penampakan naga yang sebelumnya dianggap cuma dongeng oleh 
penduduk setempat dan menjadi petanda bahaya mengancam setelahnya. 
Jenaka pada awalnya tapi ritme ceritanya beranjak makin rumit dan 
menyeramkan ketika gerombolan monster tikus, Kingdok dan Raja Belalang 
muncul. Uniknya, Bone bersaudara sebagai tokoh utama digambarkan oleh 
Jeff Smith dengan bentuk yang bulat-bulat kartunal berbeda dengan 
tokoh-tokoh lain yang terlihat lebih proporsional. Buku ini sudah sangat
 sulit ditemui di toko buku besar maupun lapak loakan, untuk melengkapi 
semua jilidnya saya bahkan harus memesan langsung ke penerbit Pionir 
Jaya.
6. Footnotes in Gaza , Joe Sacco
Seperti
 karya Joe Sacco sebelumnya, masih berlatar belakang zona konflik 
kawasan Palestina. Usahanya mengumpulkan kesaksian mengenai peristiwa 
November 1956 tentang penembakan massal prajurit Israel pada penduduk 
Gaza menghasilkan banyak cerita mengerikan. Sebagai jurnalis daerah 
konflik, Joe Sacco memberikan banyak detil informasi tentang krisis 
kemanusiaan yang terjadi di zona konflik Palestina pada setiap karyanya.
Minus
 dari buku ini ada pada bagian kualitas material cetaknya, saya anggap 
kertasnya masih terlalu tipis. Ini juga terjadi pada kedua karya 
sebelumnya, bahkan “Zona Aman Gorazde” lem punggungnya tak bertahan 
lama.
7. Sang Fotografer, Didier Lafevre
Didier
 mendampingi dan mendokumentasikan sebuah LSM kesehatan yang menjelajahi
 pedalaman Palestina untuk memberikan bantuan. Luka tembak bahkan kena 
tembak dari senjatanya sendiri adalah hal yang paling sering mereka 
temui, timbal balik dari dekatnya penduduk dengan senjata api dalam 
keseharian dan diabadikan oleh Didier dalam potret grayscale. Bobot buku
 Sang Fotografer cukup tebal dan berat karena dicetak pada kertas 
glossy, setiap lembarnya cukup untuk mengantar pembaca merasakan 
beratnya medan perjalanan dan keadaan sosial pedalaman Palestina.
8. The White Lama, Alejandro Jodorowsky
Terdiri
 dari 2 jilid menceritakan tentang keturunan kulit putih yang dibesarkan
 di Tibet dan kemudian menjadi biksu dengan kekuatan mistik yang luar 
biasa. Pewarnaannya tak biasa tapi tepat digunakan untuk menggambarkan 
peristiwa magis. Sebelumnya
 saya pernah membaca buku biografi biksu Lobsang Rampa berjudul “Mata 
Ketiga”, nama yang juga saya temui di “The White Lama” ini dan 
“Epileptik” -nya David B.
9. The Kite Runner, Khaled Hosseini (illustrator: Fabio Celoni & Mirka Adolf)
Demi
 menebus kesalahan masa kecilnya, Amir Jan yang tinggal di California 
harus kembali ke Afghanistan dan memasuki markas kelompok paramiliter 
untuk menjemput anak dari sahabatnya. Buku ini merupakan adaptasi dari 
novel dengan judul yang sama, Fabio Celoni dan Mirka Adolf berhasil 
menerjemahkannya dalam ilustrasi yang menawan.
10. The Hobbit, Charles Dixon (ilustrasi: David Wenzel)
Merupakan
 adaptasi dari novel karangan J.R.R. Tolkien, dalam hal isi cerita tidak
 ada yang bisa dianggap baru dalam buku ini apalagi jika sudah menonton 
ketiga film “The Hobbit”. Rangkaian ilustrasi cat air bercita rasa 
klasik hasil kerja tangan David Wenzel ini cuma merangkum seluruh aksi 
petualangan Bilbo Baggins yang sudah pernah dibawa ke layer lebar oleh 
sutradara Peter Jackson.
Sepuluh
 judul sudah saya bagikan di atas dan semuanya bukan produk Indonesia, 
dari beberapa sumber mengatakan ada beberapa karya lawas lokal yang 
layak disebut novel grafis yang tentu saja sudah sangat sulit ditemukan 
sekarang ini. Saya menambah satu judul komik hasil tangan orang Malang, 
saya kesulitan mengulasnya dalam satu artikel jadi saya tambahkan dalam 
tulisan ini. Terima kasih karena sudah membaca.
11. Kidung Malam: Kompilasi Komik Tukang Tutur , Aji Prasetyo
Saya tidak merekomendasikan untuk membaca semua cerita dalam kompilasi ini, hanya satu cerita yang dalam
 pertimbangan subyektif masuk dalam kategori novel grafis versi saya. 
Itu pun cuma beberapa lembar terlalu tipis untuk disebut novel yaitu 
“Harimau dari Madiun”. Komik ini menjelaskan satu hal yang menjadi 
alasan Sentot Prawirodirjo bertempur maupun menyerah dalam perang Jawa.
Satu
 hal yang saya sukai dari komik ini adalah riset yang dilakukan komikus 
dalam hal data sejarah maupun property yang dipakai setiap tokohnya. 
Komik ini memakai buku “Kuasa Ramalan” dan “Strategi Menjinakkan 
Diponegoro” sebagai sumber pustaka. Bahkan dari pengakuannya, mas Aji 
Prasetyo membaca pula beragam cerita carangan alias cerita palsu mengenai Perang Jawa saat proses riset berlangsung.
 

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar