Senin, 24 April 2017

Rekomendasi Sepuluh Novel Grafis Menarik untuk Dibaca

Beberapa tahun belakangan ini saya mengumpulkan komik maupun novel grafis, tapi meniitik beratkan pada novel grafis. Meski definisinya masih diperdebatkan, karena penyebutan ini masih dianggap hanya sebagai strategi marketing Eisner ketika menerbitkan Trilogi Contract With God dan mempopulerkan istilah ini.

Terbitan novel grafis Indonesia cukup ramai sekitar tahun 2006–2007, di tengah menggeliatnya manga dan budaya pop Jepang. Sebenarnya cukup tak mudah membaca Chicken With Plum -nya Marjane Satrapi maupun Epileptik –nya David B, cerita serius yang diwakili oleh gambar figuratif bertinta hitam tebal tentunya kontras dengan karakter berambut model lembaran daun yang menawan dalam manga di meja best seller toko buku. Saya cukup telat untuk menumpulkan novel grafis, sehingga banyak judul yang belum saya miliki. Misal; History of Violence, Zona Aman Gorazde dan Chicken With Plum.
Ada satu teori yang dikatakan oleh guru Bahasa Indonesia saya ketika masa sekolah dulu, bahwa dalam hal bahan bacaan semakin bertambahnya usia manusia maka ketertarikan pada visual berubah menjadi ketertarikan pada cerita. Sebagai contoh komik maupun film kartun lebih mudah mencuri perhatian anak-anak, kemudian mereka beranjak menyukai membaca cerpen atau novel yang cuma berisi tulisan. Novel grafis seperti menaruh dua hal ini dalam satu level yang seimbang dan menjadi sebuah pengecualian untuk teori tersebut.

Rampokan Jawa & Selebes

Saya membuat daftar 10 novel grafis yang menarik untuk dibaca, saya memilihnya ketika sedang membersihkan kamar dari tumpukan buku yang saya simpan pada satu rak kecil, dua lemari kecil berkolom ganda, satu kontainer plastik ukuran 55 liter, satu laci dan setumpuk diatas meja. Sebelum kembali menyimpannya dan menggesernya ke sudut kamar saya pikir ada baiknya jika saya membuat daftar novel grafis yang menarik dan patut dibaca untuk dikabarkan.
Ada beberapa pertimbangan yang saya pakai untuk menyusun daftar di bawah ini. Yang terdiri dari visual dan jalan cerita yang menarik, dan yang terakhir saya memilikinya dalam bentuk fisik. Novel grafis serta komik dalam format pdf tidak saya masukkan dalam daftar.

1. A Contract With God Trilogy , Will Eisner
Trilogi ini dimulai oleh makian Frimme Hersh kepada Tuhannya yang dianggap melanggar kontrak karena telah mengambil Rachele, anaknya. Kemudian babak baru rumah susun jalan raya Dropsie No 55 tempat tinggalnya dimulai dan cerita bergulir. Novel grafis pertama yang saya beli dan kadar cerita yang disajikan Will Eisner jadi panduan bagi saya untuk memilah dan menilai secara subyektif buku yang masuk dalam kategori novel grafis maupun yang cuma sekedar komik.

2. Hanyut , Yoshihiro Tatsumi
Dari novel ini bisa dilihat perkembangan komik strip Jepang yang sebelumnya cuma dianggap materi sisipan koran yang sekian lama terpaku dengan format 3 kolom dan cerita humor. Kemudian beranjak menjadi manga dan bahkan menjadi gekiga yang lebih realistik.

3. Age Of Bronze, Eric Shanower
Legenda perang Troya tak sesederhana film “Troy” yang dibintangi Brad Pitt, Eric Shanower menceritakan kisah persiapan penyerangan tersebut dalam plot yang ternyata cukup rumit. Digambarkan dalam panel-panel rapi dan nihil garis-garis yang biasa digunakan untuk menunjukkan gerak, khas komik lama. Sayangnya Gramedia hanya menerbitkan sampai jilid ke 3a, masih ada satu jilid terakhir yang belum diterbitkan.

4. Rampokan Jawa & Selebes, Peter Van Dongen
Berlatar belakang di masa revolusi Hindia Belanda yang kacau, kepulangan serdadu Johan ke kampung halaman tak seperti yang diharapkannya. Orang-orang yang dikenalnya menghilang dan Johan menjadi buronan karena dituduh komunis. Untuk menekan biaya produksi novel grafis ini dicetak dalam 3 warna, putih, hitam dan sephia. Peter Van Dongen menggunakannya dengan efektif.

5. Bone, Jeff Smith
Bercerita tentang penampakan naga yang sebelumnya dianggap cuma dongeng oleh penduduk setempat dan menjadi petanda bahaya mengancam setelahnya. Jenaka pada awalnya tapi ritme ceritanya beranjak makin rumit dan menyeramkan ketika gerombolan monster tikus, Kingdok dan Raja Belalang muncul. Uniknya, Bone bersaudara sebagai tokoh utama digambarkan oleh Jeff Smith dengan bentuk yang bulat-bulat kartunal berbeda dengan tokoh-tokoh lain yang terlihat lebih proporsional. Buku ini sudah sangat sulit ditemui di toko buku besar maupun lapak loakan, untuk melengkapi semua jilidnya saya bahkan harus memesan langsung ke penerbit Pionir Jaya.

6. Footnotes in Gaza , Joe Sacco
Seperti karya Joe Sacco sebelumnya, masih berlatar belakang zona konflik kawasan Palestina. Usahanya mengumpulkan kesaksian mengenai peristiwa November 1956 tentang penembakan massal prajurit Israel pada penduduk Gaza menghasilkan banyak cerita mengerikan. Sebagai jurnalis daerah konflik, Joe Sacco memberikan banyak detil informasi tentang krisis kemanusiaan yang terjadi di zona konflik Palestina pada setiap karyanya.
Minus dari buku ini ada pada bagian kualitas material cetaknya, saya anggap kertasnya masih terlalu tipis. Ini juga terjadi pada kedua karya sebelumnya, bahkan “Zona Aman Gorazde” lem punggungnya tak bertahan lama.

7. Sang Fotografer, Didier Lafevre
Didier mendampingi dan mendokumentasikan sebuah LSM kesehatan yang menjelajahi pedalaman Palestina untuk memberikan bantuan. Luka tembak bahkan kena tembak dari senjatanya sendiri adalah hal yang paling sering mereka temui, timbal balik dari dekatnya penduduk dengan senjata api dalam keseharian dan diabadikan oleh Didier dalam potret grayscale. Bobot buku Sang Fotografer cukup tebal dan berat karena dicetak pada kertas glossy, setiap lembarnya cukup untuk mengantar pembaca merasakan beratnya medan perjalanan dan keadaan sosial pedalaman Palestina.

8. The White Lama, Alejandro Jodorowsky
Terdiri dari 2 jilid menceritakan tentang keturunan kulit putih yang dibesarkan di Tibet dan kemudian menjadi biksu dengan kekuatan mistik yang luar biasa. Pewarnaannya tak biasa tapi tepat digunakan untuk menggambarkan peristiwa magis. Sebelumnya saya pernah membaca buku biografi biksu Lobsang Rampa berjudul “Mata Ketiga”, nama yang juga saya temui di “The White Lama” ini dan “Epileptik” -nya David B.

9. The Kite Runner, Khaled Hosseini (illustrator: Fabio Celoni & Mirka Adolf)
Demi menebus kesalahan masa kecilnya, Amir Jan yang tinggal di California harus kembali ke Afghanistan dan memasuki markas kelompok paramiliter untuk menjemput anak dari sahabatnya. Buku ini merupakan adaptasi dari novel dengan judul yang sama, Fabio Celoni dan Mirka Adolf berhasil menerjemahkannya dalam ilustrasi yang menawan.

10. The Hobbit, Charles Dixon (ilustrasi: David Wenzel)
Merupakan adaptasi dari novel karangan J.R.R. Tolkien, dalam hal isi cerita tidak ada yang bisa dianggap baru dalam buku ini apalagi jika sudah menonton ketiga film “The Hobbit”. Rangkaian ilustrasi cat air bercita rasa klasik hasil kerja tangan David Wenzel ini cuma merangkum seluruh aksi petualangan Bilbo Baggins yang sudah pernah dibawa ke layer lebar oleh sutradara Peter Jackson.
Sepuluh judul sudah saya bagikan di atas dan semuanya bukan produk Indonesia, dari beberapa sumber mengatakan ada beberapa karya lawas lokal yang layak disebut novel grafis yang tentu saja sudah sangat sulit ditemukan sekarang ini. Saya menambah satu judul komik hasil tangan orang Malang, saya kesulitan mengulasnya dalam satu artikel jadi saya tambahkan dalam tulisan ini. Terima kasih karena sudah membaca.

11. Kidung Malam: Kompilasi Komik Tukang Tutur , Aji Prasetyo
Saya tidak merekomendasikan untuk membaca semua cerita dalam kompilasi ini, hanya satu cerita yang dalam pertimbangan subyektif masuk dalam kategori novel grafis versi saya. Itu pun cuma beberapa lembar terlalu tipis untuk disebut novel yaitu “Harimau dari Madiun”. Komik ini menjelaskan satu hal yang menjadi alasan Sentot Prawirodirjo bertempur maupun menyerah dalam perang Jawa.
Satu hal yang saya sukai dari komik ini adalah riset yang dilakukan komikus dalam hal data sejarah maupun property yang dipakai setiap tokohnya. Komik ini memakai buku “Kuasa Ramalan” dan “Strategi Menjinakkan Diponegoro” sebagai sumber pustaka. Bahkan dari pengakuannya, mas Aji Prasetyo membaca pula beragam cerita carangan alias cerita palsu mengenai Perang Jawa saat proses riset berlangsung.

Tidak ada komentar: