Selasa, 20 Januari 2015
Linimasa Saya dengan Pita Magnetik
Sabtu malam yang lalu teman saya posting foto di socmed, foto tumpukan kaset bekas. Dan kita sama-sama punya memori tentang satu kaset Betrayer yang bertajuk “04”, satu band Thrash metal yang hebat di tahun 90-an. Dari sana saya mulai ingin sedikit mengingat-ingat kaset dan musik apa yang mewarnai masa kecil saya dulu.
“Duh, kenapa jadi sentimentil ?”
Di rumah saya sebenarnya tidak ada tape recorder tetapi ayah saya masih memiliki beberapa kaset, yang saya tau musik-musik pop dan beberapa saya lihat ber-genre heavy metal itu pun saya tau karena dicantumkan di sampul kasetnya. Usut punya usut, ternyata ayah saya dulu adalah musisi tepatnya pemain biola. Tapi ketika beliau mulai sibuk kerja kantoran biola kepunyaannya sering dipinjam dan lama-lama tidak kembali, jadi sebelum menikah ayah saya sudah tak bermain biola dan tak punya biola. Jadi wajar saja kalo beliau punya koleksi kaset dan selain itu juga mengoleksi buku cerita silat.
Yang saya ingat kaset pertama yang pernah saya beli adalah “Padi: Sesuatu yang Tertunda”, band yang booming saat saya sekolah setingkat dengan SMP. Saya harus sangat berhemat, karena uang saku saya saat itu cuma Rp.1500 (serius nih), buat naik angkot PP habis Rp.600. Musiknya bagus dan sampulnya pun bagus, ada ilustrasi dan sketsa potret personilnya. Untuk memutar kaset ini saya harus ke tempat paman saya, ya karena memang tak ada tape recorder di rumah.
Kaset kedua beda genre dengan kaset yang pertama saya beli, yaitu Metalik Klinik 5 merupakan album kompilasi band-band Underground yang dirilis secara berseri. Memuat banyak sekali genre musik metal dan variannya, berbeda dengan yang pertama Metalik Klinik mulai meng-khususkan dirinya cuma untuk musik metal. Saya tidak ingat berapa lagi kaset metal yang saya beli setelahnya.
Ketika saya lulus dari sekolah setingkat sekolah menengah pertama dan meneruskan jenjang selanjutnya semakin banyak kaset yang bisa saya pinjam dan saya dengarkan. Eh lupa ngasih tau, setelah saya lulus saya meneruskan sekolah di kota Solo, di sebuah pondok pesantren. Ini sekolah baru dan dengan teman-teman baru yang ternyata sedari dulu memang sudah sering beli kaset, dan kemudian saya tau perlu pengorbanan memang untuk bisa beli kaset yang mereka inginkan.
Ada peraturan yang melarang penggunaan barang elektronik di lingkungan pondok pesantren terutama bagi santrinya, tak boleh ada tape recorder, setrika apalagi handphone. Jadi untuk memutar kaset yang diinginkan beberapa teman memiliki walkman, yang kadang bergantian pinjam-meminjam tergantung siapa yang bisa beli baterai. Dan kami cuma bisa pakai sambil diam-diam biar tidak diketahui oleh pihak pesantren.
Disini saya bisa mendengarkan Audioslave, Papa Roach, Slipknot, dan tentu saja System of A Down – Toxicity. “hmmm System of A Down, kapan kalian reuni dan rilis album lagi?”.
Di tahun kedua sekolah saya mendengarkan Betrayer album 04 dengan track “Bendera Kuning” yang sudah di-aransemen lagi, track legendaris yang pernah muncul di Metalik Klinik 1. Musik dari Betrayer bukanlah musik easy listening yang mudah dicerna, apalagi kalau rutinitas harianmu adalah mengaji dan membaca kitab kuning.
Yang saya ingat beberapa bulan setelahnya saya membeli kaset Cradle Of Filth – Damnation And A Day, satu album dengan track yang cukup panjang dan woow sampulnya cukup tebal jika dilipat. Memang saya tak bisa beli banyak kaset karena faktor ekonomi yang sangat susah direkayasa karena saking kecilnya. Tapi kemudian tren membuat mixtape dari kaset kosong memberi jalan keluar apalgi jika saya cuma suka satu atau dua lagu di dalam satu album. Hal ini membuat saya senang dan keranjingan, saya pernah buat kaset mixtape yang berisi lagu System of A Down, Slipknot, EdanE, beberapa lagu dari Album Metalik Klinik dan Sound Of Darkness.
Menjelang kelulusan sekolah tren kaset mulai digusur oleh hadirnya CD apalagi yang berformat mp3, dengan harga separuh dari kaset tapi bisa menyimpan hingga 700 lagu. Di sekitar semester kedua kuliah saya, Jogja mulai gandrung dengan pc rakitan yang harganya murah meriah dan menjamurnya warnet maupun membuat penyebaran lagu dalam format mp3 dilakukan dengan sangat massif.
Hmmm, saya ternyata menjadi generasi yang nanggung. Ketika musik cuma bisa dinikmati lewat kaset saya masih kesulitan mengumpulkan rupiah untuk membelinya, kemudian kepopuleran CD melindas eksistensi kaset dan lagi-lagi saya belum jenak menikmatinya. Persahabatan pensil, bolpoin dan kaset terputus sudah.
Tapi perkembangan teknologi informasi lama-lama bisa saya nikmati juga, harddisk dan memory card dalam ponsel yang makin murah ditambah dengan banyaknya kanal di internet yang menyediakan musik yang bisa dinikmati secara streaming, misal; Reverbnation dan Soundcloud. File-sharing berhasil mengubur kepopuleran rilisan fisik.
Musik makin mudah didengar tapi menurut saya pribadi tak ada yang bisa mengalahkan menonton langsung pertunjukan musik, akan ada interaksi dari musisi, aura fanatisme fans, dan jika lokasi sedang becek kadang ikut terbawa pulang juga lumpur lengket yang menempel di alas kaki dan membuat langkah makin berat. Meski tak semuanya memuaskan, memang kadang ada kendala, misal; sound system yang terdengar hambar, harus berteduh ketika tiba-tiba hujan, lebih sibuk minum dan berteduh daripada berdiri di sisi barikade ketika cuaca sedang terik-teriknya, tapi di banyak hal mengecewakan kehabisan tiket adalah hal yang paling menyebalkan.
Bukan cuma musik, saya cukup menggemari seni pertunjukkan yang lain, entah wayang, gamelan, teater, dan tari. Jogja memberikan ini hampir tanpa henti, kesempatan yang cukup luas untuk orang yang ingin mempertunjukkan kemampuan seninya maupun untuk orang yang ini menontonnya.
Hingga saya berpikir setiap orang di Jogja adalah seniman di satu sisi dan pekerja biasa di sisi lain, di setiap pertunjukkan nyaris semua tanpa ongkos tiket masuk. Kemudian bagaimana bentuk apresiasi yang bisa diberikan jika gratis? Mengingat rata-rata yang tinggal di Jogja adalah masyarakat dengan tingkat ekonomi lemah. Kehadiran kita untuk menyaksikan menjadi bentuk apresisasi yang paling tinggi dan mungkin saja jadi sebuah honor yang mahal yang diterima mereka. Bagaimanapun, panggung adalah tempat paling terhormat bagi seniman pertunjukan.
Memang media rekam semakin beragam dan bahkan bisa sangat murah, tetapi cara terbaik untuk mengapresiasi musik dan seni pertunjukan adalah dengan hadir di lokasi. Dan, jangan lupa beli tiket jika pertunjukan tersebut tidak gratis.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar