Jumat, 09 Februari 2018

Mendengarkan Gaung Gamelan Sekati





Kraton Yogyakarta memiliki beberapa perangkat gamelan untuk keperluan khusus yang disebut Gangsa Pakurmatan. Salah satunya adalah Gangsa Sekati yang hanya dibunyikan untuk menyambut Maulud Nabi. Gangsa Sekati ini merupakan peninggalan dari Sultan Agung Hanyakrakusuma. Gangsa Sekati ini terdiri dari dua perangkat gamelan yaitu; Gamelan Kyai Guntursari dan Kyai Gunturmadu.

Saat Perjanjian Giyanti yang mengatur Palihan Nagari selain pembagian wilayah, Gangsa Sekati juga dibagi. Kyai Gunturmadu diserahkan kepada Kasultanan Yogyakarta, sedangkan Kyai Guntursari diserahkan pada Kasunanan Surakarta. Untuk mengembalikan gamelan pada kelengkapan semula, Sri Sultan HB I, membuat duplikat dari Kyai Guntursari yg dberi nama Kyai Nagawilaga.

Gamelan ini cuma bisa didengarkan setahun sekali saat Sekaten yaitu pada tanggal 6 Mulud hingga tanggal 12 Mulud. Jadi saya harus sedikit ngoyo untuk tak melewatkannya. Apalagi bulan Maulud selalu jatuh pada musim hujan yang sangat deras-derasnya. Berkendara pun harus lebih hati-hati. 

Aspal jadi licin, jarak pandang berkurang dan air menggenang di jalan. Tapi akhirnya, saya terpaksa mengurungkan niat untuk melihat prosesi Miyos Gangsa begitu mendapati luberan air di jalan sukses merendam sepatu saya. Lebatnya hujan juga bikin ciut nyali. Toh, saya masih bisa datang keesokan harinya dan masih bisa melihat prosesi yang lain. Yah, saya coba menghibur diri sendiri.

Jadi saya akan sedikit bercerita tentang tradisi yang sudah ada sejak Kerajaan Demak ini. Peristiwa  dikeluarkannya Gangsa Sekati dari Kraton menuju Masjid Gedhe pada tanggal 6 Mulud ini disebut Miyos Gangsa. Prosesi ini pula yang menandai dimulainya Sekaten. Gangsa Sekati akan ditabuh hingga tanggal 12 Mulud. Gamelan pusaka tersebut diletakkan di tempat berbeda. Gamelan Kyai Gunturmadu diletakkan di Pagongan Kidul, Sedangkan Gamelan Kyai Nogowilogo diletakkan di Pagongan Lor. Pagongan merupakan pavilun kecil di halaman Masjid Gedhe.

Gangsa Sekati dimainkan secara bergantian tiga kali sehari sejak pagi tapi berhenti satu jam sebelum adzan dan kembali ditabuh satu jam setelahnya. Perangkat gamelan ditabuh bergantian, setiap gending berdurasi sekitar setengah jam.  Gamelan tidak dibunyikan pada hari Kamis petang sampai dengan selepas sholat Jumat. Jadwal ini cukup penting untuk diingat, karena saya bertemu beberapa orang yang kecewa karena datang ketika gamelan sedang tak dimainkan.

Setiap orang boleh memasuki pagungan untuk ikut menikmati gending yang akan dimainkan. Tetapi tetap dengan kesadaran para pengrawit mendapat jatah ruang yang cukup nyaman. Pengrawit adalah sebutan untuk penabuh gamelan. Baiknya datang sebelum gamelan dibunyikan agar leluasa dalam memilih tempat. Saran saya jangan ambil tempat di dekat gong, apalagi sampai di belakangnya. Kecuali kamu ingin dapat rasa pengang di telinga selama beberapa saat.

Sambil menunggu giliran menabuh, pengrawit beristirahat dahulu sambil ngobrol ke sesama rekan. Beberapa cucu dari pengrawit juga ada yang hadir, para pengrawit juga tak sungkan ngobrol dengan pengunjung.  

Abdi Dalem yang menabuh gamelan ini mengenakan seragam berwarna torquise. Warna hasil perpaduan biru dengan hijau. Sebelum masuk giliran menabuh, pengrawit mengalungkan samir warna kuning pertanda sedang menjalankan tugas dari Kraton. Kyai Gunturmadu yang usianya lebih sepuh dari Kyai Nagawilaga akan dibunyikan lebih dulu.

Hal tak biasa saya lihat pada perangkat gamelan adalah alat pemukul gambang yang dibuat dari tanduk lembu atau tanduk kerbau. Cara memukulnya adalah dengan mengangkat tangan tegak lurus di atas dahi kemudian dihantam dengan kuat. Sebagian pengrawit karena faktor usia tak sanggup mempraktekkannya secara sempurna. Sikutnya sedikit tertekuk.

Tanduk yang membentur bilah tembaga kemudian menghasilkan suara yang sangat lantang dan berdengung. Gaungnya awet di dalam pagongan selatan. Beberapa orang tersentak kaget. Hal yang juga pernah saya alami saat pertama kali mendengarkan gamelan sekaten. Satu lagi, setelah cukup beradaptasi dengan suara gaungnya cobalah untuk mencari suara bonangnya.

Pada hari ke sebelas Mulud menjelang ditutupnya Sekaten, area Masjid Gedhe mulai dibersihkan dan keramaian dikurangi. Pedagang mengemasi lapaknya. Sedari Ashar akses keluar masuk Masjid Gedhe ditutup dan dibatasi. Berlapis-lapis pengamanan dilakukan dalam persiapan prosesi Kondur Gangsa atau upacara dikembalikannya Gangsa Sekati dari Pagongan Masjid Gedhe ke dalam Kraton.
Di pintu selatan juga disibukkan dengan pembuatan tembok bata untuk pelaksanaan prosesi Jejak Beteng. Tradisi ini merujuk pada peringatan kejadian penyerangan oleh Mangkunegoro pada saat pelaksanaan Kondur Gangsa di masa HB I. Mengetahui rencana tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono I yang tidak ingin menganggu pelaksanaan upacara di regol depan memilih untuk menghadapi musuh-musuhnya dengan membuat akses keluar pada dinding selatan. Supaya Kondur Gangsa tetap berjalan normal. Peristiwa ini terjadi di tahun Dal. Dalam hitungan kalender Jawa tahun Dal jatuh tiap delapan tahun. Salah satunya bertepatan dengan tahun 2017 Masehi kemarin.
Lubang itu sekarang menjadi pintu keluar masuk Masjid Gedhe untuk pejalan kaki dan kendaraan roda dua. Sedangkan kini regol ditutup pagar besi dan cuma dibuka ketika upacara Kraton dilaksanakan

Secara turun-temurun rute pulangnya gamelan adalah dari Masjid Gedhe melewati regol atau pintu utama di sebelah timur. Desain awal kompleks Masjid Gedhe memang hanya memiliki akses masuk di sebelah timur. Kemudian gamelan dibawa ke arah Beringin kurung di tengah alun-alun selanjutnya belok menuju Kraton. Rute ini juga dipakai pada banyak upacara Kraton.

Secara sederhana susunan acara dalam prosesi Kondur Gangsa adalah seperti ini. Sultan akan miyos dari Kraton menuju Masjid Gedhe sebagai tahap awal dilaksanakan upacara Kondur Gangsa. Beliau kemudian akan menyebar udhik-udhik sebagai simbol sedekah raja di kedua pagongan. Udhik-udhik ini merupakan kepingan uang logam bercampur beras dan bunga yang diletakkan di dalam bokor (bejana). Kemudian beliau menuju serambi Mesjid Gedhe kembali menyebarkan udhik-udhik dan dilanjutkan dengan mendengarkan pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW.  

Usai pembacaan riwayat, Sultan kembali ke Kraton dengan terlebih dahulu merubuhkan pada susunan bata yang berada di dinding sebelah selatan Masjid Gedhe yang sudah disiapkan pada siang hari.

Selanjutnya rombongan Abdi Dalem Kanca Abang dengan beberapa batang bambu yang besar memasuki kompleks Masjid Gedhe. Abdi Dalem Kanca Abang ini bertugas untuk mengangkut Gangsa Sekati. Perangkat musik tersebut akan diangkut oleh Abdi Dalem Kanca Abang dengan cara diusung memakai bambu dan tali. Gamelan diikat dengan tali yang dikaitkan pada bambu. Dua Abdi Dalem akan berdiri bersisian meletakkan bambu pada pundaknya dan kemudian mengangkatnya. Setiap alat minimal membutuhkan tiga Abdi Dalem untuk mengangkatnya dan empat Abdi Dalem untuk perangkat yang lebih berat. Seorang di sisi kanan maupun kiri dan sisanya di tengah untuk memastikan gamelan tetap seimbang dan guncangannya tak membuat pengusungnya limbung. Barisan prajurit akan mengawal perpindahan Gangsa Sekati.

Pada bagian ini seluruh keriuhan di pasar malam yang bertempat di alun-alun diminta untuk berhenti. Sedangkan panitia penyelenggara sibuk membentuk pagar betis untuk mengamankan jalan pulangnya gamelan. Barisan prajurit dengan tombak-tombaknya yang menghunus langit berada paling depan dalam iring-iringan. Diikuti dengan Abdi Dalem berbusana peranakan membawa lilin dan yang paling terakhir adalah iringan Gangsa Sekati. Rombongan ini berjalan ke arah tengah alun-alun kemudian belok kanan menuju Kraton.

Dengan dikembalikannya Gangsa Sekati ke Kraton, maka upacara Sekaten telah selesai dan akan dilanjutkan dengan Garebeg Mulud pada keesokan harinya.
Sesaat setelah kerumunan merenggang seorang pria menunjuk ke tas ransel yang saya dekap memperingatkan barang bawaan saya yang mau jatuh. Separuh pocket watercolor warna putih terlihat di bagian bawah tas. Ada robekan berbentuk siku yang terpotong rapi di kompartemen depan menembus saku utama. Tidak ada barang yang hilang tapi tas tersebut sudah tak bisa diperbaiki lagi.
Sejak masa kerajaan  Demak, upacara sedekah raja ini dijadikan sarana syiar Islam dan dikenal dengan nama Sekaten. Ada yang mengatakan bahwa Sekaten berasal dari kata “syahadatain” atau dua kalimat syahadat yang merupakan kalimat kesaksian untuk memeluk agama Islam. Pendapat lain mengatakan bahwa Sekaten berasal dari kata “sekati” yang merujuk kepada dua perangkat gamelan Kraton yang dibunyikan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Apapun penafsirannya, keduanya adalah hal yang baik.


Tidak ada komentar: