Sabtu, 01 September 2012

Sketch on Solo "Spirit of Java"

Setelah sebulanan berwara-wiri di FKY kemudian lanjut ke JJW yang semuanya berakhir dengan asyik dan menyenangkan. Terbersit juga keinginan untuk pergi ke Solo untuk lihat majalah hasil layoutan yang sudah saya kerjakan dengan revisi yang bejibun, Bayangkan saja, tiap hari pasti ada revisi entah dari salah ketik sampe judul yang harus diubah, untung saja editornya tahan banting dan layouternya juga "die hard". Sang editor berusaha keras agar isinya tidak keluar dari pakem sastra dan aturan jurnalistik, sedangkan layouternya juga berusaha agar tata letaknya tetap estetik tapi nyaman dibaca. Kira-kira penampakannya seperti dibawah ini:







Majalahnya sudah tercetak dan didistribusikan, semoga bermanfaat bagi pembaca. Saya lanjutkan tentang jalan-jalan ke Solo yah? Kalo sudah lihat Keraton Jogjakarta tidak lengkap rasanya jika belum lihat Keraton Surakarta sambil mempelajari sejarah kerajaan Mataram yang ternyata banyak konflik, intrik dan mitos di dalamnya. Apalagi saya sudah 3 tahun tinggal di Solo, dan baru tau kalo Solo menyimpan cerita sejarah yang sangat hebat.
Tapi jalan-jalan ini saya lakukan sebelum bulan puasa lho,  tapi baru sekarang bisa nge-post :( . Saya juga masih nge-twit hari itu, dengan hashtag #AlaikJalanJalan .
Saya berangkat sedikit malam berencana untuk menginap di Solo sambil ketemu teman saya yang editor itu. Malam itu kami mampir warung yang jadi favorit kami ketika masih sekolah dulu, dan masih sering mampir juga kalo sedang main ke Solo. Ini sketsa 3 orang yang sedang ngobrol asyik tentang perjalanannya ke Madura melewati jembatan SuraMadu, eh yang satu orang nggak kelihatan ya.

Hari selanjutnya saya pergi ke Loji Gandrung, inilah rumah dinas bagi Walikota Solo yang sedang menjabat. Loji Gandrung dulu merupakan rumah dari pengusaha kaya raya di masa penjajahan Belanda letaknya di barat stadion Sriwedari.
Hari itu saya tak banyak sketch, karena menikmati suasana kota Solo saat sore hari di area Citiwalk membuat tangan jadi kaku. Tapi di hari berikutnya saya melanjutkan ke museum Keraton Surakarta, ini akan sangat hebat :) . Rute ke Keraton mulai terasa saat melaju dari Gladag ke selatan, gapura kemudian pohon-pohon yang mengapit jalanan, alun-alun lalu daerah supit urang. Menandakan kalo daerah Keraton dan sekitarnya memang sudah dirancang untuk keamanan dan keindahan Keraton itu sendiri.
Alun-alun di depan jalan masuk Keraton dengan tembok tinggi di sisi Keraton dan jalan yang tak cukup lebar cukup efektif untuk memecah jumlah pasukan musuh yang coba masuk sehingga mudah dilumpuhkan.
Ini gapura masuk ke Keraton, disampingnya ada menara pengawas yang membuat pemanah leluasa melepaskan panahnya ke arah bawah.
Ok, pintu masuk museum ada di timur Keraton, yak sip. Jika di Jogja khas dengan warna hijau dan kuning, di Keraton Surakarta lebih dominan biru dan putih. Hebatnya, museum ini menyimpan banyak sekali koleksi mulai dari barang perabotan raja dari mulai singgasana sampai peralatan makan dan minum. Koleksi awal masa kerajaan Mataram juga ada disini, dari patung dewa-dewa hindu hingga peralatan ibadahnya. Pengaruh hindu ternyata masih terlihat cukup jelas saat itu. Kemudian koleksi benda seni dan hasil budaya dari kerajaan juga ditampulkan disitu dari  peralatan wayang hingga adat pernikahan khas Jawa. Saya menggambar cukup banya corak batik, lung-lungan dan tentu saja hewan mythologi kesukaan saya, naga. Ya, Naga disini dibuat dengan berbagai macam bentuk, dan tentunya naga dalam budaya jawa berbeda sekali dengan naga versi Cina dan Eropa.
Koleksi yang cukup membuat saya kagum dan merinding adalah Perahu Kyai Rojomolo, konon perahu ini digunakan oleh raja Paku Buwono untuk pergi tapak ngeli ke Madura. Perahu ini akhirnya hancur dalam sebuah banjir yang masih menyisakan jangkar dayung, jangkar dan hiasan pusaka kepala perahu.
Hiasan kepala raksasa berwarna merah ini diletakkan di bagian kepala perahu. Saat nyeket saya merasa cukup takut dan rasanya suasananya menjadi sangat mencekam setiap saya melihatnya. Bayangkan saja, ada kepala raksasa berwarna merah yang sangat besar dg mata membelalak di depanmu. Dan di setiap hari selasa kliwon, kepala ini harus diberi sesaji, karena jika tidak kepala ini mengeluarkan bau amis dan anyir.
Untuk cerita lebih lanjut tentang Kyai Rojomolo, silahkan kunjungi situs ini.
Selanjutnya masuk ke area Keraton, semua pengunjung harus melepas alas kaki. Ada hamparan pasir pantai selatan dan pepohonan disitu, kabarnya pasir itu dari awal pembangunan Keraton tak pernah ditambah volumenya, volume pasir dari dahulu tetap seakan tak pernah berkurang. Tapi ada yang cukup menarik disana, yaitu menara Songgo Buwono (sebenarnya disebut Panggung Songgo Buwono). Konon tempat ini hanya boleh dimasuki oleh raja, selain untuk mengawasi keadaan sekitar, raja juga melakukan pertemuan dengan Ratu Kidul.

Sebenarnya masih banyak yang ingin saya sketch dan ketahui disana, tapi jam kunjung museum sudah berakhir. Jalan-jalan masih saya lanjutkan, masih di area dalem benteng saya menuju ke alun-alun kidul. yang berbeda dari alun-alun kidul Solo dan Jogja adalah, disini tidak ada tukang parkirnya. Parkir, parkir aja sana :). eh, saya juga sketch kebo bule loh, kerbau yang selalu diistimewakan saat malam Suro datang.
Sedangkan yang ini adalah gapura alun-alun kidul. Ada inisial Paku Buwono disana.
Yang cukup terasa dalam arsitektur Keraton Solo menurutku adalah pengaruh Eropa yang cukup kentara disana-sini, seperti perpaduan Jawa-Eropa. Aneh tapi asyik :D .
Sudah cukup sore ya, detail bangunan sudah samar terlihat apalagi ada seorang sastrawan yang baru saja menang lomba puisi mau ngajak syukuran. Terima kasih sudah membaca :) .

2 komentar:

Erick Eko Pramono mengatakan...

Kok gambar sketchnya pada ketarik2 om? Jadi nggak sesuai proporsi aslinya..

andhika_XIII mengatakan...

sketching lg youk...... minggu 15 sept 2013.... sriwedari