Kraton Yogyakarta memiliki beberapa perangkat gamelan untuk
keperluan khusus yang disebut Gangsa Pakurmatan. Salah satunya adalah Gangsa
Sekati yang hanya dibunyikan untuk menyambut Maulud Nabi. Gangsa Sekati ini
merupakan peninggalan dari Sultan Agung Hanyakrakusuma. Gangsa Sekati ini
terdiri dari dua perangkat gamelan yaitu; Gamelan Kyai Guntursari dan Kyai
Gunturmadu.
Saat Perjanjian Giyanti yang mengatur Palihan Nagari selain
pembagian wilayah, Gangsa Sekati juga dibagi. Kyai Gunturmadu diserahkan kepada
Kasultanan Yogyakarta, sedangkan Kyai Guntursari diserahkan pada Kasunanan
Surakarta. Untuk mengembalikan gamelan pada kelengkapan semula, Sri Sultan HB
I, membuat duplikat dari Kyai Guntursari yg dberi nama Kyai Nagawilaga.
Gamelan ini cuma bisa didengarkan setahun sekali saat
Sekaten yaitu pada tanggal 6 Mulud hingga tanggal 12 Mulud. Jadi saya harus
sedikit ngoyo untuk tak
melewatkannya. Apalagi bulan Maulud selalu jatuh pada musim hujan yang sangat
deras-derasnya. Berkendara pun harus lebih hati-hati.
Aspal jadi licin, jarak
pandang berkurang dan air menggenang di jalan. Tapi akhirnya, saya terpaksa mengurungkan
niat untuk melihat prosesi Miyos Gangsa begitu mendapati luberan air di jalan
sukses merendam sepatu saya. Lebatnya hujan juga bikin ciut nyali. Toh, saya masih
bisa datang keesokan harinya dan masih bisa melihat prosesi yang lain. Yah,
saya coba menghibur diri sendiri.
Jadi saya akan sedikit bercerita tentang tradisi yang sudah
ada sejak Kerajaan Demak ini. Peristiwa dikeluarkannya
Gangsa Sekati dari Kraton menuju Masjid Gedhe pada tanggal 6 Mulud ini disebut
Miyos Gangsa. Prosesi ini pula yang menandai dimulainya Sekaten. Gangsa Sekati
akan ditabuh hingga tanggal 12 Mulud. Gamelan pusaka tersebut diletakkan di
tempat berbeda. Gamelan Kyai Gunturmadu diletakkan di Pagongan Kidul, Sedangkan
Gamelan Kyai Nogowilogo diletakkan di Pagongan Lor. Pagongan merupakan pavilun
kecil di halaman Masjid Gedhe.
Gangsa Sekati dimainkan secara bergantian tiga kali sehari
sejak pagi tapi berhenti satu jam sebelum adzan dan kembali ditabuh satu jam
setelahnya. Perangkat gamelan ditabuh bergantian, setiap gending berdurasi
sekitar setengah jam. Gamelan tidak dibunyikan
pada hari Kamis petang sampai dengan selepas sholat Jumat. Jadwal ini cukup
penting untuk diingat, karena saya bertemu beberapa orang yang kecewa karena datang
ketika gamelan sedang tak dimainkan.
Setiap orang boleh memasuki pagungan untuk ikut menikmati
gending yang akan dimainkan. Tetapi tetap dengan kesadaran para pengrawit
mendapat jatah ruang yang cukup nyaman. Pengrawit adalah sebutan untuk penabuh
gamelan. Baiknya datang sebelum gamelan dibunyikan agar leluasa dalam memilih
tempat. Saran saya jangan ambil tempat di dekat gong, apalagi sampai di
belakangnya. Kecuali kamu ingin dapat rasa pengang di telinga selama beberapa
saat.
Sambil menunggu giliran menabuh, pengrawit beristirahat
dahulu sambil ngobrol ke sesama rekan. Beberapa cucu dari pengrawit juga ada yang
hadir, para pengrawit juga tak sungkan ngobrol dengan pengunjung.
Abdi Dalem yang menabuh gamelan ini mengenakan seragam
berwarna torquise. Warna hasil perpaduan biru dengan hijau. Sebelum masuk
giliran menabuh, pengrawit mengalungkan samir warna kuning pertanda sedang menjalankan
tugas dari Kraton. Kyai Gunturmadu yang usianya lebih sepuh dari Kyai
Nagawilaga akan dibunyikan lebih dulu.
Hal tak biasa saya lihat pada perangkat gamelan adalah alat
pemukul gambang yang dibuat dari tanduk lembu atau tanduk kerbau. Cara memukulnya
adalah dengan mengangkat tangan tegak lurus di atas dahi kemudian dihantam
dengan kuat. Sebagian pengrawit karena faktor usia tak sanggup mempraktekkannya
secara sempurna. Sikutnya sedikit tertekuk.
Tanduk yang membentur bilah tembaga
kemudian menghasilkan suara yang sangat lantang dan
berdengung. Gaungnya awet di dalam pagongan selatan. Beberapa orang tersentak
kaget. Hal yang juga pernah saya alami saat pertama kali mendengarkan gamelan
sekaten. Satu lagi, setelah cukup beradaptasi dengan suara gaungnya cobalah
untuk mencari suara bonangnya.
Pada hari ke sebelas Mulud menjelang
ditutupnya Sekaten, area Masjid Gedhe mulai dibersihkan dan keramaian
dikurangi. Pedagang mengemasi lapaknya. Sedari Ashar akses keluar
masuk Masjid Gedhe ditutup dan dibatasi. Berlapis-lapis pengamanan dilakukan
dalam persiapan prosesi Kondur Gangsa atau upacara dikembalikannya Gangsa
Sekati dari Pagongan Masjid Gedhe ke dalam Kraton.
Di pintu selatan juga disibukkan dengan pembuatan tembok
bata untuk pelaksanaan prosesi Jejak Beteng. Tradisi ini merujuk pada peringatan kejadian
penyerangan oleh Mangkunegoro pada saat pelaksanaan Kondur Gangsa di masa HB I.
Mengetahui rencana tersebut, Sri Sultan Hamengku Buwono I yang tidak ingin
menganggu pelaksanaan upacara di regol depan memilih untuk menghadapi
musuh-musuhnya dengan membuat akses keluar pada dinding selatan. Supaya Kondur Gangsa
tetap berjalan normal. Peristiwa ini terjadi di tahun Dal. Dalam hitungan
kalender Jawa tahun Dal jatuh tiap delapan tahun. Salah satunya bertepatan
dengan tahun 2017 Masehi kemarin.
Lubang itu sekarang menjadi pintu keluar masuk Masjid Gedhe
untuk pejalan kaki dan kendaraan roda dua. Sedangkan kini regol ditutup pagar
besi dan cuma dibuka ketika upacara Kraton dilaksanakan
Secara turun-temurun rute pulangnya gamelan adalah dari
Masjid Gedhe melewati regol atau pintu utama di sebelah timur. Desain awal
kompleks Masjid Gedhe memang hanya memiliki akses masuk di sebelah timur.
Kemudian gamelan dibawa ke arah Beringin kurung di tengah alun-alun selanjutnya
belok menuju Kraton. Rute ini juga dipakai pada banyak upacara Kraton.
Secara sederhana susunan acara dalam prosesi Kondur Gangsa
adalah seperti ini. Sultan akan miyos
dari Kraton menuju Masjid Gedhe sebagai tahap awal dilaksanakan upacara Kondur
Gangsa. Beliau kemudian akan menyebar udhik-udhik
sebagai simbol sedekah raja di kedua pagongan. Udhik-udhik ini merupakan kepingan uang logam bercampur
beras dan bunga yang diletakkan di dalam bokor (bejana). Kemudian beliau
menuju serambi Mesjid Gedhe kembali menyebarkan udhik-udhik dan dilanjutkan dengan mendengarkan pembacaan riwayat
Nabi Muhammad SAW.
Usai pembacaan riwayat, Sultan kembali ke Kraton dengan
terlebih dahulu merubuhkan pada susunan bata yang berada di dinding sebelah
selatan Masjid Gedhe yang sudah disiapkan pada siang hari.
Selanjutnya rombongan Abdi Dalem
Kanca Abang dengan beberapa batang bambu yang besar memasuki kompleks Masjid Gedhe.
Abdi Dalem Kanca Abang ini bertugas untuk mengangkut Gangsa Sekati. Perangkat
musik tersebut akan diangkut oleh Abdi Dalem Kanca Abang dengan cara diusung
memakai bambu dan tali. Gamelan diikat dengan tali yang dikaitkan pada bambu.
Dua Abdi Dalem akan berdiri bersisian meletakkan bambu pada pundaknya dan
kemudian mengangkatnya. Setiap alat minimal membutuhkan tiga Abdi Dalem untuk
mengangkatnya dan empat Abdi Dalem untuk perangkat yang lebih berat. Seorang di
sisi kanan maupun kiri dan sisanya di tengah untuk memastikan gamelan tetap
seimbang dan guncangannya tak membuat pengusungnya limbung. Barisan prajurit
akan mengawal perpindahan Gangsa Sekati.
Pada bagian ini seluruh keriuhan di pasar malam
yang bertempat di alun-alun diminta untuk berhenti. Sedangkan panitia
penyelenggara sibuk membentuk pagar betis untuk mengamankan jalan pulangnya
gamelan. Barisan prajurit dengan tombak-tombaknya yang menghunus langit berada
paling depan dalam iring-iringan. Diikuti dengan Abdi Dalem berbusana peranakan
membawa lilin dan yang paling terakhir adalah iringan Gangsa Sekati. Rombongan
ini berjalan ke arah tengah alun-alun kemudian belok kanan menuju Kraton.
Dengan dikembalikannya Gangsa Sekati ke Kraton, maka upacara Sekaten telah selesai dan akan dilanjutkan dengan Garebeg Mulud
pada keesokan harinya.
Sesaat setelah kerumunan merenggang seorang pria menunjuk ke
tas ransel yang saya dekap memperingatkan barang bawaan saya yang mau jatuh.
Separuh pocket watercolor warna putih
terlihat di bagian bawah tas. Ada robekan berbentuk siku yang terpotong rapi di
kompartemen depan menembus saku utama. Tidak ada barang yang hilang tapi tas
tersebut sudah tak bisa diperbaiki lagi.
Sejak masa kerajaan Demak, upacara sedekah raja ini dijadikan sarana syiar Islam dan dikenal dengan nama Sekaten. Ada yang mengatakan bahwa Sekaten berasal dari kata “syahadatain” atau dua kalimat syahadat yang merupakan kalimat kesaksian untuk memeluk agama Islam. Pendapat lain mengatakan bahwa Sekaten berasal dari kata “sekati” yang merujuk kepada dua perangkat gamelan Kraton yang dibunyikan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Apapun penafsirannya, keduanya adalah hal yang baik.
Sejak masa kerajaan Demak, upacara sedekah raja ini dijadikan sarana syiar Islam dan dikenal dengan nama Sekaten. Ada yang mengatakan bahwa Sekaten berasal dari kata “syahadatain” atau dua kalimat syahadat yang merupakan kalimat kesaksian untuk memeluk agama Islam. Pendapat lain mengatakan bahwa Sekaten berasal dari kata “sekati” yang merujuk kepada dua perangkat gamelan Kraton yang dibunyikan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad. Apapun penafsirannya, keduanya adalah hal yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar